Perjalanan ke desa Meulingge, desa paling barat di Indonesia
Pernahkah travellers berada di desa paling barat Indonesia? Kalau saya sudah ya hehehe, perjalanan ini saya lakukan tahun 2018 silam. Untuk menuju ke desa Meulingge, di pulau Breuh, provinsi Aceh saya menggunakan kapal tradisional dari pelabuhan Lampulo, Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Mengangkut berbagai macam barang kebutuhan ternyata sudah
menjadi pemandangan sehari hari di Pelabuhan ini. Dari Pelabuhan Lampulo, barang barang kebutuhan diangkut menuju ke pulau pulau kecil di provinsi Aceh.
Saya naik kapal Jasa Bunda, kapal yang melayani warga menuju ke pulau Breuh. Dengan harga tiket 25 ribu per orang, kapal siap melayani
warga. Setiap sudut kapal terisi barang kebutuhan dan penumpang. Travellers...inilah wajah transportasi antar pulau di provinsi Aceh, penumpang kapal berjubelan, berhimpit dengan barang bawaan. Setelah kapal penuh terisi penumpang dan barang, kapal Jasa Bunda pun berangkat menuju ke pelabuhan Gugop di pulau Breuh, kabupaten Aceh Besar. Pulau Breuh atau pulau Beras masuk dalam gugusan Pulo Aceh yang terdiri dari pulau Nasi dan pulau Beras. Dua pulau ini masuk dalam
kecamatan Pulo Aceh, kabupaten Aceh Besar, provinsi Aceh.
Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya kapal motor Jasa Bunda bersandar di pulau Breuh. Kapal telah disambut warga pulau Beuh yang akan
menjemput atau mengangkut barang yang ada di kapal.
Saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil bak terbuka ke desa Meulingge, dan akhirnya sampai di desa paling barat di Indonesia.
Desa Meulingge merupakan desa paling barat di indonesia yang dikelilingi samudera Hindia, dan berbatasan dengan 3 negara yakni Malaysia, Thailand dan India. Di balik hijaunya sawah dan rimbunnya pepohonan tidak
banyak yang tahu bahwa desa Meulingge merupakan salah satu desa yang terdampak
tsunami pada tahun 2004 silam. Bangunan rumah di desa ini merupakan rumah hasil bantuan
dari lembaga swadaya masyarakat dan bantuan dari luar negeri. Di desa Meulingge tinggal 115 kepala keluarga dengan total lebih dari 400 jiwa, mereka memiliki mata pencaharian
beragam, mulai dari nelayan, petani, hingga
bekerja di sektor perkebunan.
Saya pun menuju ke pantai dan melihat aktivitas nelayan. Profesi ini telah menjadi profesi umum bagi warga desa Meulingge
yang tinggal di tepi laut. Setiap pagi nelayan yang telah membawa hasil
tangkapan/ sampai ke pelabuhan desa Meulingge. Warga yang ingin membeli ikan dapat langsung melihat dan
memilih ikan.
Bekerja di sektor perkebunan
Selain ikan, sektor perkebunan juga digeluti warga desa Meulingge. Pohon cengkeh banyak dibudidayakan di sini. Nantinya pohon akan menghasilkan bunga cengkeh yang digunakan sebagai bumbu masakan
pedas dan bahan untuk rokok kretek. Pohon cengkeh berbunga setahun sekali, saat berbunga
adalah masa menyenangkan bagi petani cengkeh seperti Ibrahim. Dengan cekatan pria berumur 38 tahun ini memilih bunga cengkeh yang layak petik. Banyaknya bunga cengkeh yang dipetik tergantung dari
kecepatan setiap petani cengkeh, Ibrahim dapat memanen hingga 9 kilogram cengkeh. Setelah dikeringkan bunga cengkeh akan menyusut hingga
sepertiga berat semula. Dari buah cengkeh, Ibrahim memperoleh uang 90 ribu rupiah
per kilogram.
Warga desa Meulingge juga ada yang
bekerja sebagai petani cabai. Cabai tumbuh subur di desa ini, terutama jenis
cabai rawit yang bisa tumbuh di segala cuaca dan tahan hama. Setiap hari cabai rawit segar dipetik petani. Setelah 3 bulan ditanam tanaman cabai bisa dipanen. Merawat tanaman inipun relatif mudah. Meski relatif mudah menanam cabai, petani di pulau Breuh
masih kesulitan mendapatkan bantuan pupuk. Dari hasil memetik cabai/ petani
mendapatkan uang 26 ribu rupiah untuk satu kilogram cabai.
Anak anak pencari gurita
Karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, anak
anak warga desa Meulingge terbiasa bermain di tepi pantai. Hari ini Ikhlas, Farhan dan Nasruloh berangkat ke pantai untuk mencari gurita. Bagi 3 bocah
sekolah dasar ini mencari gurita tidak hanya sekedar permainan, namun juga
bisa menambah uang jajan. Mereka pun membawa alat sederhana untuk mencari gurita, seperti rajut, besi dan kacamata selam. Anak anak di desa paling barat di Indonesia ini
bergembira karena telah memperoleh tangkapan gurita. Nantinya gurita ini akan
mereka jual untuk menambah uang saku.
Pengobatan Rajah
Warga desa Meulingge memiliki cara pengobatan tradisional
yang masih dipercaya hingga saat ini, yaitu rajah. Mustafa adalah satu satunya
perajah di desa Meulingge. Ia mewarisi ilmu merajah dari ayah kandungnya.
"rajah itu sebenarnya kalau kami di pulau pulau ini,
karena doa doa, kita minta sama Allah agar orang orang halus yang masuk ke kita
itu, agar dia hilang gitu, dan kita doakan agar dia pindah di tubuh kita" kata Mustafa, ahli rajah di desa ini.
Iapun mendatangi rumah Nurdin Ibrahim yang sedang
sakit kakinya. Nurdin ingin memperoleh kesembuhan melalui kemampuan Mustafa merajah. Mustafa sang perajah memulai ritualnya menyembuhkan
pasien. Ia mengucapkan doa doa agar penyakit hilang dari tubuh Nurdin. Melalui kekuatan doa yang terucap, Nurdin ingin penyakit
yang dideritanya sembuh. Setelah setengah jam merajah, Mustafa pun mengakhiri
doanya. Keberadaan mustafa sebagai perajah tidak lepas dari
kurangnya tenaga kesehatan di desa Meulingge.
Kesenian Tradisional Rapa'i
Seminggu sekali, Warga desa Meulingge berkumpul di Balai Desa. Malam ini para pria akan bermain Rapa’i. Kesenian tradisional asli Aceh, Rapa’i sendiri adalah gendang yang terbuat dari kulit kambing. Rapa’i berukuran lebih besar dari rebana. Para pemain Rapa’i pun memberikan alas rotan di bagian belakang agar suara lebih nyaring. Dan kesenian Rapa’i pun mulai membahana, memecah keheningan malam. Kesenian Rapa’i melagukan syair-syair, zikir dan
pujian kepada Allah Sang Pencipta.
"Kalau bahasa Aceh itu kisah, lagunya menceritakan tentang syair, ada kata kata disesuaikan, misalnya ujungnya gini, syairnya tentang bersolawat, syair untuk mengisahkan kehidupan kita masa kini, kemajuan aceh,
kemajuan indonesia", ucap Bahtiar, seorang pemain Rapa'i.
Adakalanya gendang dipukul cepat sesuai irama
pembacaan puisi doa, suara pemain Rapa’i pun terdengar serentak dan merdu
sesuai dengan bunyi gendang. Kesenian Rapa’i telah merekatkan warga Meulingge satu
sama lain dalam suasana persaudaraan.
Inilah potret desa Meulingge, desa paling barat Indonesia. Meski terletak di ujung pulau Breuh dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, desa Meulingge tetap menjadi kawasan yang harus diperhatikan
kesejahteraan warga dan pembangunan infrastrukturnya. Setuju kan travellers.
Posting Komentar untuk "Perjalanan ke desa Meulingge, desa paling barat di Indonesia"
Posting Komentar