Natuna, negeri sejuta keramik



Pada suatu masa, Kepulauan Natuna pernah menjadi pusat perdagangan besar di kawasan Asia. Pedagang dari berbagai negara, seperti China, Thailand, Vietnam, Singapura hingga pedagang dari pulau Jawa masa lalu, datang untuk mengadu nasib di Natuna. Letak Natuna yang strategis, di persimpangan negara negara sekitar, membuat Natuna ramai dikunjungi para pedagang. Tidak hanya berkunjung, mereka juga tinggal dan menetap di kawasan kepulauan ini. Kejayaan Natuna sebagai pusat perdagangan antar negara terjadi sekitar abad ke 13 hingga ke 14 lalu. Saat itu, kawasan Natuna, di sepanjang pinggiran pantai, sepanjang pinggiran sungai, ramai dipadati penduduk dari berbagai negara untuk berdagang.

Hingga abad ke 15 dan 16, saat bajak laut ganas yang berada di sekitar perairan Natuna menjadi momok menakutkan  bagi para pedagang. Bajak laut tidak segan segan membunuh untuk merampas barang berharga yang dibawa para pedagang. Karena sebab inilah, para pedagang memutuskan untuk tidak lagi datang ke Natuna, dan berpindah ke Malaka dan dan berakhir di Temasek, yang saat ini dikenal dengan Singapura. Natuna sebagai pusat perdagangan antara negara akhirnya ditinggalkan begitu saja, dan kembali menjadi kepulauan sepi yang berada di tengah laut. Namun keberadaan para pedagang ini meninggalkan jejak. Hingga saat ini hampir di semua kawasan Natuna, di darat maupun perairan, terdapat berbagai peninggalan para pedagang dari abad ke 13 silam, yang menunggu ditemukan dan diselamatkan.



Saya takjub mendengar kisah Natuna masa lalu, yang diceritakan oleh Zaharuddin, pemilik Museum Sri Serindit di kabupaten Natuna. Jejak kebesaran Natuna sebagai pusat perdagangan masa lalu tergambar jelas melalui berbagai koleksi keramik yang berada di museum sekaligus rumahnya. Keramik ini tersimpan rapi dalam etalase kaca dan di setiap sudut rumahnya. Ada berbagai koleksi yang pak Dien miliki, mulai dari keramik dari dinasti Shung abad ke 11 serta dinasti Yuan dari abad ke 13. Selain itu juga ada  koleksi peralatan rumah tangga yang terbuat dari tembaga, dari abad ke 19, milik warga Natuna masa lalu, dan berbagai senjata kuno yang terbaris rapi di etalase kaca.

Beberapa peninggalan telah menjadi masterpiece dari Museum Sri Serindit ini. Seperti guci dengan corak krek ke dalam khas barang barang dari dinasti Yuan. Guci ini ditemukan dalam keadaan utuh dan masih sangat terawat hingga saat ini. Meski belum dilapisi porcelain, dan masih berupa tembikar, guci ini memiliki corak yang sangat indah di seluruh permukaannya.



Selain itu juga ada guci yang kalau boleh saya katakan, hampir tidak berbentuk seperti guci. Ditemukan di dasar laut, guci ini telah diselubungi oleh karang laut, sehingga bentuknya menjadi seperti terumbu karang.



Pak Dien pun bercerita kepada saya, bagaimana ia mulai mengumpulkan berbagai barang barang peninggalan kejayaan Natuna masa lalu ini. Ia tergerak untuk menyelamatkan dan menyimpan barang barang yang menjadi saksi bisu kejayaan Natuna sejak tahun 1985 silam. Ia bercerita bahwa hampir di sepanjang kawasan Natuna ini masih terdapat peninggalan yang menunggu untuk ditemukan dan diselamatkan. Jumlahnya sangat banyak, ia khawatir jika tidak segera diselamatkan, banyak peninggalan yang jatuh ke tangan orang orang yang tidak bertanggung jawab, atau justru dijual hingga ke luar negeri. Pensiunan guru ini juga masih memiliki obsesi untuk membuat museum besar yang dapat menampung semua koleksinya, karena saat ini rumah pak Dien hampir penuh dengan koleksi barang barang yang berjumlah ribuan. Atas ide pak Dien, museum Natuna akan segera berdiri sebentar lagi, koleksi kejayaan Natuna masa lalu akan bisa dinikmati oleh masyarakat dengan lebih nyaman. Semoga saya bisa kembali lagi ke Natuna untuk melihat Museum Natuna modern yang dapat menampung semua barang yang menjadi saksi kejayaan natuna masa lalu.



Saya pun berbicara kepada pak Dien, ingin melihat langsung bagaimana proses penyelamatan barang barang kuno ini. Dari museum Sri Serindit, ia mengajak saya ke sebuah kawasan yang dinamakan hutan desa tebal, desa Tanjung, kecamatan Bunguran Timur Laut. Setelah berkendara selama kurang lebih 30 menit saya sampai di kawasan ini. Dibalik rerimbunan semak dan pohon kelapa yang menjulang tinggi, saya melihat 3 orang yang sedang mencari peninggalan kuno. Mereka menggunakan alat pencari yang disebut pemacok. Alat ini ditusukkan ke dalam tanah secara acak, apabila alat ini membentur benda asing yang diduga peninggalan kuno, para pekerja ini akan segera menggali dan mengambilnya. Saya penasaran ingin melihat koleksi kuno Natuna yang terpendam di tanah. Pak Dien bercerita bahwa ia dan pekerjanya tidak selalu bisa menemukan peninggalan kuno. Kadang kadang mereka bekerja tanpa hasil, namun jika beruntung mereka akan menemukan sejumlah peninggalan kuno ini.

Saya menunggu beberapa saat untuk melihat proses penemuan, ditemani nyamuk nyamuk kebun yang beterbangan di sekitar saya. Untuk menghalau nyamuk, para pekerja membakar pelepah kelapa kering. Asapnya mengusir nyamuk yang beterbangan liar di sekitar saya. Dan salah seorang pekerja pun berteriak menggunakan bahasa daerah mereka, pemacok menyentuh sesuatu. Menurut kepercayaan pak Dien, jika sudah menemukan sesuatu sebaiknya pemacok jangan dilepas dan langsung digali. Apabila alat dilepas, percaya tidak percaya barang peninggalan ini akan menghilang…hmmmm.



Setelah digali dengan tangan karena kedalaman hanya sekitar 40 centimeter, tampaklah sebentuk piring tembikar kecil bercorak retak seribu. Menurut pak Dien, piring kuno ini berasal dari dinasti Yuan abad ke 13 silam. Saya takjub dengan penemuan ini, banyangkan setelah kebih dari 700 tahun terpendam, piring kuno ini kembali ditemukan. Pencarian pun berlanjut, tidak lama kemudian seorang pekerja kembali berteriak, pemacoknya mengenai sesuatu. Ia pun segera menggali tanah dan menemukan piring dengan ukuran lebih besar, dan buli buli, semacam guci kecil untuk menyimpan bumbu dapur. Menurut pak Dien, piring yang terbuat dari tanah liat ini juga berasal dari dinasti Yuan, abad ke 13 silam. Penemuan para pekerja ini nantinya akan diserahkan kepada pak Dien untuk disimpan dan menjadi koleksi museumnya. Sungguh sebuah penemuan yang sangat berharga.



Sesuatu hal yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya tentang Natuna, sebuah kepulauan di ujung utara Indonesia yang pernah menjadi pusat perdagangan masa silam. Dengan letak geografis unik, karena letaknya menjorok mendekati negara Vietnam dan Malaysia, namun justru masuk wilayah Indonesia. Dalam hati saya berterimakasih kepada Soekarno, presiden Indonesia pertama yang dengan diplomasi hebatnya memasukkan Natuna sebagai wilayah Indonesia. Ternyata tidak sekedar kepulauan terpencil di ujung Indonesia, namun Natuna juga telah memiliki peradaban tinggi di masa lalu. Berbagai peninggalan yang sangat berharga tersimpan di bumi Natuna, menunggu untuk ditemukan dan diselamatkan. Berjuta keramik kuno yang tersimpan di bumi Natuna membuatnya layak dijuluki Negeri Sejuta Keramik. 


Posting Komentar untuk "Natuna, negeri sejuta keramik"