Mbah Satinem, Penjual jajanan lopis legendaris di Yogyakarta
Hai
travellers....cerita tentang ragam kuliner Nusantara rasanya tidak pernah ada
habisnya. Dan kali ini cerita kemahsyuran jajanan lopis, tiwul, gatot dan ketan bubuk khas Jogja akan
menjadi milik Anda.
Pagi
ini saya awali hari dengan penerbangan 50 menit dari Bandara Soekarno-Hatta di
Jakarta menuju Bandara Adisucipto di Jogjakarta. Mentari di ufuk timur
menyambut hangat para penumpang yang rata-rata menghabiskan waktu dengan tidur
di pesawat, hingga ketika kaki benar-benar menyentuh tanah kota ini, reaksi
pertama yang saya rasakan adalah rasa lapar. Haha....bagaimana tidak? Setiap
punya rencana jalan-jalan ke kota ini seakan perut sudah dibiarkan beberapa
hari kosong, agar siap diisi beragam kuliner yang unik penuh nostalgia dan
tentu saja tetap awet rasa nikmatnya.
Seperti
kembali ke ritual setiap kali menapakkan kaki ke kota ini, supir yang menjemput
sudah paham kemana destinasi pertama yang harus dituju... Ya, Jalan P.
Diponegoro, sebelah barat Tugu ikon kota yang terkenal itu. Kira-kira 300 meter
dari Tugu, persis di pojokan pertigaan jalan menuju Jalan Bumijo, di emperan
toko kacamata Optik Yogya yang masih tutup, disanalah penjual jajanan pagi lopis, tiwul, gatot dan ketan bubuk, Mbah Satinem yang legendaris itu berada.
Deuuh...
saya seperti bertemu sahabat lama setiap melihat mbah Satinem yang masih tetap
gesit melayani pembeli. Hari masih menunjukkan jam 7.15 dan saya sudah mendapat
nomor antrian 50 . Hahaha... Mbah Satinem ini sudah rapi menerapkan sistem
antrian kepada pelanggannya. Keren juga ya? Dan saya harus rela menunggu cukup
lama karena saat ini baru pembeli nomer 27 yang dilayani.
Sejak
dulu mbah Satinem berjualan dengan duduk di bangku kayu pendek (kira-kira
setinggi 15cm), yang disebut dengan dingklik. Bertahun-tahun dia berjualan,
begitulah posisi duduknya, sehingga lambat laun makin terlihat punggungnya yang
semakin bungkuk. Tetap setia dengan kain dan kebaya kutu-baru dan rambut
disisir ke belakang yang semakin menipis.
Didepan
mbah Satinem ada tampah tempat dagangan. Tampah adalah sejenis nampan berbentuk
bulat yang terbuat dari anyaman bambu. Dan jajanan paling legendaris yang
disajikan adalah Lopis, Tiwul, Gatot dan Ketan Putih plus Juruh (sirop gula
Jawa yang sangat kental sebagai toping) yang ditempatkan di wadah keramik. Di
depan tampah jualan Simbah, hanya tersedia 4 bangku plastik pendek untuk
pembeli, sehingga yang datang belakangan harus siap menanti dengan sabar sambil
berdiri.
Sekitar
15 menit saya berdiri barulah bangku plastik didepan Simbah ditinggalkan
pembeli yang sudah dilayani, maka saya bisa duduk dan kebetulan bersebelahan
dengan seorang turis perempuan muda asal negara Perancis, yang mendapat momor
urut 49 (satu nomor diatas saya) . Saya sempatkan ngobrol dengan Helen -gadis
itu- pingin tahu saja saya, darimana dia punya ide ikut mengantri jajanan ini,
sementara dia hanya ada di Jogja hanya untuk 4 hari saja. Ternyata dia mengenal
simbah penjual LOPIS ini dari informasi yang diaksesnya melalui internet. Waaaah...cukup
mendunia juga simbah ini. Tapi meski Helen ikut mengantri dan sangat ingin
mencicipi rasa lopis ini ternyata dia sama sekali tidak tahu apa bahan dasar
pembuatannya. Dia mengira ini dibuat dari sayuran. Hahaha.. meski dia melihat
bagaimana Si Mbah memotong lopis ini, tidak pernah dia menduga bahwa bahan
dasarnya adalah ketan (stick rice).
Akhirnya
untuk menjawab rasa penasaran Helen saya pun bak reporter mulai mencari tau
perjalanan usaha Mbah Satinem. Sambil
kami berdua terus memperhatikan gesitnya Mbah Satinem memotong lopis, saya
mulai ngobrol dengan beliau. Awalnya saya sedikit berbasa-basi menanyakan kabar
beliau, maklumlah sebagai tokoh lopis legendaris pasti sudah ribuan orang dia
layani sambil kepalanya lebih sering menunduk dan badannya yang semakin
membungkuk. Mana mungkin dia ingat saya? O'o....termyata dia tidak basa-basi
menjawab sapaan saya, bahkan cenderung ramah tanpa lepas jari tangannya sibuk
melayani saemua pesanan.
Mbah
Satinem adalah warga desa Demakijo, sekitar 15 km sebelah barat kotamadya
Jogjakarta. Dia memulai berjualan lopis sejak tahun 1963 (hampir 56 tahun),
dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki.
Bertahun-tahun cara berjualan seperti ini dilakoni oleh perempuan yang sekarang
berusia 74 tahun itu, sejak dia berumur 18 tahun. Salah
satu pelanggannya, adalah pemilik Yogya Optik yang lokasinya ada di Jalan Raya
Diponegoro. Atas kebaikan hati beliau, mbah Satinem dipersilakan membuka outlet
di teras tokonya setiap pagi, karena mbah Satinem sudah punya banyak pelanggan
dan mengingat beliau sudah makin berumur.
Hingga
saat ini jajanan yang dijual masih sama dengan awal Mbah Satinem berjualan,
yaitu :
LOPIS
:
Orang
sering menyebutnya lupis, tetapi orang Jawa / Jogja lebih sering menyebut
dengan lopis. Terbuat dari beras ketan yang dikukus yang dicetak dengan cara
digulung berbentuk silinder seperti lontong dan dibungkus daun pisang. Lopis
buatannya memang banyak disukai para pembelinya. Dengan kekenyalan yang pas,
pilihan beras ketan yang cukup bagus, dan dikukus dengan memakai tungku kayu,
membuat lopisnya tetap gurih, kenyal, sedep harum dan cukup mengenyangkan
sebagai pengganti sarapan nasi.
Cara
memotong lopis juga unik. Tidak memakai pisau, tetapi dipotong selebar
kira-kira 1cm dengan menggunakan seutas benang.
Untuk
menambah cita rasanya, lopis disajikan dengan menaburkan parutan kelapa yang
cukup tua (dan diparut secara manual tidak menggunakan mesin parut agar
kandungan air santan tetap terjaga). Setelah itu diberi toping JURUH, yaitu
semacam sirup yang sangat kental terbuat dari gula jawa (palm sugar) yang
dicairkan dengan sedikit volume air. Sampai sekarang, mbah Satinem masih
bertahan hanya memakai gula jawa hasil kebun petani di daerah Wates (Kabupaten
Kulonprogo, Jogjakarta) yang memang rasanya asli gula palem yang legit.
Pada
awal berjualan, produksi lopis mbah Satinem tidak sampai 1 kilogram beras
ketan. Tetapi saat ini per hari dia bisa menghabiskan 10 kg beras ketan.
TIWUL
(dibaca : Thiwul) dan GATOT
Keduanya
adalah jajanan yang dibuat dari gaplèk, ketela pohon yang awalnya adalah
makanan pokok daerah kering di Gunung Kidul, Jogjakarta. Bedanya adalah, jika
Tiwul dibuat dari tepung gaplek yang dikukus dengan campuran juruh dalam
mengolahnya, dan ducetak menyerupai gunung atau tumpeng , maka gatot terbuat
dari gaplek yang diiris tipis, dikukus dengan tambahan sedikit rasa manis dari
juruh tanpa dibuat bentuk penampilan khusus.
Lopis, Tiwul dan Gatot menjadi kombinasi yang pas untuk disajikan bersama. Taburan
kelapa parut dan juruh sebagai toping menjadikan jajanan yang dibungkus daun
pisang ini makin legit, manis dan gurih. Satu
bungkus dijual dengan harga lima ribu Rupiah, pas-lah untuk sarapan pagi.
KETAN
BUBUK
Ada
lagi jajanan yang dijual mbah Satinem yaitu Ketan Bubuk. Sangat sederhana, dia
hanya seperti nasi yang dibuat dari beras ketan, disajikan dengan taburan
kelapa parut, plus toping bubuk kedelai putih yang sudah disangrai dan gula
putih halus. Rasanya enak gurih dan cukup mengenyangkan.
Ohya,
untuk yang kurang suka dengan bubuk gula dan kedelai, topingnya bisa diganti
dengan juruh atau hanya parutan kelapa saja. Tetap enak dan Indonesia banget.
Layak dicoba..!
CENIL
Nah,
ini termasuk jajanan varian baru. Terbuat dari tepung sagu atau tepung kanji.
Rasanya kombinasi gurih dan manis, karena ada campuran kelapa parut dan gula
pasir sebagai topingnya.
Teksturnya
lembut dan kenyal, dan diberi pewarna untuk lebih menarik. Biasanya warna merah
dan hijau.
Sebagai
varian baru, khusus Cenil ini dibuat oleh anak ke-2 mbah Satinem yang menjadi
pendamping dan asistennya berjualan, namanya mbak Katinem. Sampai sekarang baru
cenil yang dipercayakan kepadanya, sementara lopis, tiwul dan gatot masih
dibuat oleh Mbah Satinem dan suaminya yang berumur 75 tahun.
Tiba-tiba
mbak Katinem menyebut angka "empat puluh sembilan, sinten nggih?" (
nomer urut 49, siapa ya?). Panggilan
ini membuyarkan obrolan kami, saatnya Helen bisa memesan dua bungkus lopis
lengkap seharga Rp. 10.000,- dan beranjak pergi meninggalkan saya yang
kemudian dilayani.
Kali
ini saya memesan satu porsi lopis dengan wadah pincuk (piring sekali pakai
dibuat dari daun pisang) yang saya makan disitu, plus satu porsi lopis kumplit
dengan tiwul, gatot dan ketan. Untuk oleh-oleh pulang ke Jakarta saya beli satu
gunung tiwul utuh seharga Rp. 20.000.. Murah sekali ya? Rasanya seperti saya
membawa pulang Gunung Merapi... hehe..
Pagi
ini saya mengeluarkan uang Rp. 30.000 dan menanti antrian selama 40 menit.
Worth it..untuk sebuah sensasi jajanan tradisional yang legendaris ini.
Travellers,....
yuks kalau ke Jogjakarta coba mampir ke outlet Lopis mbah Satinem di Jalan
Diponegoro atau sebelah barat Pasar Kranggan. Jangan kesiangan bangun ya,
karena jam 5.30 sudah mulai antrean dan sekitar jam 8.30 dagangan sudah habis.
Simbah akan langsung pulang ke rumahnya di Demakijo, istirahat sejenak, dan
mulai mengolah masakannya jam 2 siang setiap harinya.
Selamat
menikmati sambil melestarikan kuliner nusantara yang sarat akan kearifan lokal.
Penulis
: Kusuma Prabandari
Posting Komentar untuk "Mbah Satinem, Penjual jajanan lopis legendaris di Yogyakarta"
Posting Komentar