Kampung Arab di Pekalongan, Jawa Tengah
Nah sekarang saatnya menjelajah ke kota di Jawa Tengah, yaitu kota Pekalongan ya Travellers. Saat bulan suci Ramadan, suasana religius sangat terasa. Maklum di kota yang identik dengan kota Batik ini, banyak tinggal keturunan Arab. Pekalongan
sebagai pusat perdagangan batik tidak lepas dari sejarahnya sebagai kota yang pernah memiliki pelabuhan
perikanan terbesar di pulau Jawa.
Kedatangan keturunan Arab ke Pekalongan bermula di tahun 1800an silam, saat Habib Husein bin Salim datang. Beliau mendirikan masjid di tengah hutan belantara. Saat membangun masjid ini, banyak teman Habib yang bertanya mengapa membangun Masjid di tengah hutan belantara. Saat itu beliau berkeyakinan bahwa daerah ini akan menjadi kawasan perdagangan kota Pekalongan.
Sesuai dengan prediksi Habib Husein bin Salim, kampung Arab pun seketika tersulap menjadi areal perdagangan.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, tahun 1955 silam, kampung Arab atau jlaan Surabaya menjadi pusat perdagangan yang ramai. Saat itu orang susah berjalan karena isinya pedagang semua. Kedatangan kaum Arab yang hijrah ke Pekalongan rupanya memberi nuansa baru bagi tanah Pekalongan. Pemukiman-pemukiman baru pun lahir dengan arsitektur Arab. Kawasan ini kemudian dikenal sebagai Kampung Arab. Berlokasi di sisi timur Pekalongan, ada banyak warga yang berparas Arab maupun kombinasi Arab-Jawa. Aktifitas berdagang masih dapat ditemui di sepanjang
kelurahan Sugihwaras, kelurahan Poncol dan kelurahan Klego yang menjadi basis
penduduk keturunan Arab.
Kegiatan keagamaan menjadi fokus utama yang rutin
diselenggarakan salah satunya pengajian.
Menelusuri jejak kampung Arab, kurang lengkap rasanya
jika tidak menyinggung keunikan budayanya.
Ada tradisi lempar koin. Tradisi ini menjadi bagian dari hajatan yang diselenggarakan oleh salah satu warga. Tradisi ini bermakna enggantikan tradisi-tradisi yang dulunya
orang bersedekah dengan menaruh makanan di pohon atau dialirkan ke sungai untuk
dewa. Agama Islam datang merubah ini. Kalau masyarakat hendak bersedekah, berikanlah kepada yang membutuhkan. Seperti koin koin yang diberikan kepada anak anak supaya mereka bergembira. Nominal koin bukanlah sasaran utama tapi bagaimana sang
empunya
hajatan memaknai
pemberian yang dilandasi oleh ketulusan hati.
Tak ada adu fisik maupun unsur kesirikan yang mewarnai
tradisi lempar koin ini. Inilah
bukti pancaran suasana kegembiraan dalam balutan budaya
yang melebur
bernafaskan Islami.
Meninggalkan keriuhan tradisi lempar koin, lantunan
shalawat sayu
sayu terdengan dari Masjid.
Seni yang terdiri dari belasan pelantun tembang salawat
dengan iringan musik rebana mampu memberi atmosfer baru bagi masyarakat
pekalongan. Perubahan selalu bertujuan pada kebaikan, itulah makna
yang terkait erat dengan keberadaan seni Terbang Genjring di Pekalongan, dimana
syair-syair yang dilantunkan sarat bermakna pujian kepada Rasululah. Terbang Genjring terbukti mampu bertahan
hingga kini. Bahkan menjadi kesenian yang kerap dipertunjukkan dalam
berbagai kegiatan adat budaya, hari besar agama, serta syukuran.
Selain melalui lantunan syair pujian, terdapat pula hunto
yang memperagakan atraksi pencak silat sebagai cerminan budaya yang melekat
pada sisi Islami. Menapaki kawasan Kampung Arab di pekalongan, seolah
membawa travellers menelusuri jejak sejarah yang terbingkai rapi bersama sentuhan
potret kehidupan religius umat Muslim lokal. Di sisi lain adanya sentuhan budaya Timur Tengah juga
mampu memberi warna baru bagi masyarakat Jawa sehingga terjadi akulturasi yang seimbang antara seni budaya dan tradisi dengan unsur religius.
Posting Komentar untuk "Kampung Arab di Pekalongan, Jawa Tengah"
Posting Komentar