Kekeringan dan kegelapan di desa Renrua, Belu, Nusa Tenggara Timur


Hidup di perbatasan negeri ngga mudah ya travelers, ada banyak keterbatasan yang harus dijalani. Walaupun pembangunan terus dilakukan, Indonesia itu wilayahnya sangat luas ya, ada beberapa daerah yang bisa jadi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah Indonesia.

Seperti saat saya pergi ke kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Daerah timur Indonesia ini memang identik dengan kekeringan. Bayangkan travelers.....Belu memiliki iklim tropis dengan musim hujan yang sangat pendek, 4 bulan saja dari bulan Desember hingga Maret. Sementara musim kemarau sangat panjang, yaitu April hingga November. Inilah yang menyebabkan wilayah kabupaten Belu kerap mengalami kekeringan. Oh yaa kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Republik Demokratik Timor Leste, wilayah Belu memiliki luas sekitar 2.446 kilometer persegi dengan kontur daerah yang berbukit dan gunung. 



Saya bertemu dengan Yun Koi Asa, saat itu beliau adalah Kepala PDAM kabupaten Belu, dari beliau juga saya memperoleh informasi kondisi geografi Belu yang berbukit bukit, dan landai ke arah pantai. Saat musim hujan, semua air hujan mengalir ke laut, jadi resapannya tidak setebal daerah lain di Indonesia, sehingga ketersediaan air di daerah ini terbatas. Lalu apakah dengan kondisi ini, mereka berpangku tangan? jawabannya tidak. Sejumlah solusi dilakukan di sini, seperti misalnya pembuatan embung, atau tempat penampungan air, untuk menampung air hujan. Selain itu PDAM di bawah komando Yun Koi Asa juga berupaya mencari sumber air bawah tanah yang bisa dipakai oleh pelanggan. Sejumlah sumur darurat juga dibuat untuk mengatasi kekeringan, terutama di kota Atambua. Ada juga bantuan berupa pemberian air ke rumah penduduk melalui truk tangki. 

Kalau di kota Atambua saja, warga masih kesulitan untuk mendapatkan air, bagaimana dengan keadaan masyarakat yang berada jauh dari kota Atambua. Untuk mengetahuinya, sayapun melanjutkan perjalanan menuju ke desa Renrua. Dari kota Atambua, saya kembali menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Bukan perjalanan yang mulus, karena jalan yang saya lalui tidak semua beraspal, kadang berbatu dan mobil harus menghindari jalanan yang longsor karena kikisan air hujan. 

Akhirnya saya sampai di desa Renrua, yang letaknya berbatasan langsung dengan Timor Leste. Dari pegunungan di desa ini, saya dapat melihat langsung negara tetangga, Timor Leste. Sampai di kantor Desa Renrua, saya bertemu dengan kepala desa, Eduardus Kidamanto Bau. Di desa Renrua ada 343 Kepala Keluarga yang membutuhkan bantuan pemerintah agar lebih sejahtera. Desa ini masuk kategori desa tertinggal karena masih sangat terbelakang dari segi pembangunan, baik itu ekonomi, pendidikan dan infrastruktur, listrik air dan jalan raya. Karena kontur daerah yang berbukit dan kekeringan panjang yang melanda, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Saya melihat sendiri bagaimana sungai sungai mengering, tidak ada sisa ssia kehidupan ekosistem sungai, karena telah kering berbulan bulan lamanya. 

Inilah kehidupan yang harus dijalani oleh warga desa Renrua, saat musim kemarau Panjang, alam semakin tidak bersahabat. Salah satu warga yang merasakan kekurangan air adalah Blandina Bete. Meski terbata bata dalam berbahasa Indonesia, ia bercerita kepada saya betapa sulitnya mendapatkan air di sini. Bahkan ia dan keluarganya sudah tidak mandi bebeberapa hari. Tidak ada kegiatan mencuci baju, karena baju yang dipakai akan dijemur lagi untuk menghilangkan bau keringat. 


Untuk kebutuhan memasak, Blandina bersiap siap mencari air, ia membawa semacam tempat air dan ember bersama kedua cucunya menuju ke sumber air. Jalanan terjal harus dilalui oleh wanita berumur 60 tahun ini, demi mendapatkan air bersih. Jalan di desa Renrua ini sebagian besar masih berupa tanah, kering saat musim kemarau dan sulit dilalui karena licin saat musim hujan. Jarak antara rumah Blandina dengan sumber air cukup jauh,  sekitar 3 kilometer. Ia dan cucunya juga harus melalui sungai kering untuk mencapai sumber air. Ternyata tidak hanya Blandina yang membutuhkan air,  warga desa lain juga membutuhkan air untuk kebutuhan sehari hari sehingga mereka antri untuk mengambil air. Setelah mengambil air sesuai kebutuhan, Blandina dan kedua cucunya kembali ke rumah. Air ini kemudian digunakan untuk kebutuhan memasak di rumah. 

Oh ya...saat saya ke desa ini, saya melihat jaringan listrik sudah mulai masuk, walau belum dialiri listrik, warga desa Renrua sangat bergembira karena inilah kali pertama sejak Indonesia merdeka tahun 1945 silam, jaringan listrik sudah masuk desa mereka. Semoga saat tulisan ini diterbitkan, aliran listrik sudah mengalir di desa Renrua ya travelers. 

Rasa penasaran pun muncul di benak saya, bagaimana warga desa menjalani kehidupan di malam hari. Saya memutuskan untuk tetap tinggal di desa ini hingga malam menjelang. Sebelum gelap, sejumlah warga desa bersiap untuk menyalakan pelita atau lampu kecil berbahan bakar minyak tanah agar mereka tetap bisa beraktivitas di dalam rumah. 

Warga tidak menyerah pada kondisi ini, walau belum merasakan aliran listrik, anak anak di desa Renrua tetap belajar. Di bawah remang remang lampu pelita, mereka tetap belajar, menuntut ilmu di tengah keterbatasan.  Selain beraktivitas di dalam rumah, kegelapan malam tidak menghalangi warga desa Renrua untuk beraktivitas. Mereka menggunakan obor untuk menerangi jalan yang gelap gulita. 
Hampir setiap malam para Tetua desa Renrua bertemu di Uma Lulik atau Rumah Adat. Di sini mereka membicarakan berbagai permasalahan yang terjadi di desa mereka. Sementara anak anak pun tidak mau ketinggalan, setelah selesai belajar, dalam kegelapan mereka tetap bermain, menikmati masa kecil mereka. Malam ini mereka bermain Tutun Silem, kalau saya lihat lebih seperti permainan ular naga, mereka berbaris dan masuk ke dalam kolong tangan 2 orang anak yang saling berpegangan. Inilah desa Renrua, desa yang dilanda kekeringan menahun dan tanpa listrik, warganya pun masih jauh dari sejahtera. Meski mereka hidup di perbatasan, mereka berhak hidup sejahtera dan berhak mendapatkan penerangan. 

Itu dia travelers kisah warga di desa Renrua, meski hidup dalam keterbatasan, mereka tetap bersyukur dan menjalani hidup dengan semangat.

Cheers



Posting Komentar untuk "Kekeringan dan kegelapan di desa Renrua, Belu, Nusa Tenggara Timur"